Knowledge Admirer Ilmu itu, kehidupan hati dari kebutaan, sinar penglihatan dai kezhaliman dan tenaga badan dari kelemahan,Sebagai pembeda antara manusia dan hewan. Maka manusia adalah manusia, dimana ia menjadi mulia karena ilmu. Dan bukanlah dari kekuatannya sendiri. (Imam Ghazali)

8.10.07

The War Crime Of the Jews

Semua mata dunia khususnya negara islam kini dipaksa melihat pemandangan menjijikkan :(, pemandangan yang menggambarkan ketidakmanusiaan dan kebejatan moral para penghuni surga dunia; bangsa-bangsa keturunan bani ishaq dan bani israel. Yakni bangsa yang dianugerahkan Allah swt sebagai pencipta semua makhluk dengan berbagai kelebihan dan kekuatan yang membuat mereka unggul dari ras lainnya. Namun, bukan karena bermacam-macam anugerah tersebut yang membuat mereka terkenal dunia dan akherat, namun keingkaran dan kesyirikannya pada Tuhan serta kekejaman, keberingasan, kebejatannya terhadap makhluk lainnya lah yang menjadikannya sedemikian.

Akibat berbagai tindak dan praktek kejahatan mereka, ribuan rumah kini kehilangan penghuninya diakibatkan kerena banyaknya diantara saudara kita yang mendekam di neraka dunia yang berhasil mereka ciptakan, ribuan anak kini sedang duduk termangu memikirkan tempat bermainnya sebab hampir semua wilayah disana bisa dikatakan lubang maut;ratusan ranjau siap menghibur mereka dengan luapan letusan yang mampu membuyarkan tubuh mereka, kekokohan dan kemulian masjidil Aqsa kini terancam, ribuan mujjahid pelindungnya kini lenyap di telan panasnya peluru mereka, ribuan saudari kita telah kehilangan kehormatannya, ratusan bagian tubuh menjadi perhiasan bumi, yang berserakan memenuhi dinding dan jalan-jalan kota, darah segar menganak sungai membasahi tanah suci; tanah yang disucikan dengan perjuangan para nabi dan rasul terdahulu; tanah tujuan Rasulullah saat Isra' wa Mi'raj; tanah yang di do'akan para malaikat; tanah yang menyaksikan secara langsung kehebatan pasukan muslim menumpas tentara salib yang telah membunuh umat muslim dengan pedang-pedangnya tanpa ampun; tanah yang mampu memberikan rasa aman bagi ketiga penganut agama samawi (Islam, Kristen, Yahudi); tanah yang dijanjikan tempat berlangsungnya perang armageddon (Perang terakhir sekaligus perang dari semua perang umat muslimin dengan kaum Kuffar yang insya allah akan dimenangkan oleh kita, umat Muhammad saw).

||| Disini akan dijelaskan serangkaian sejarah panjang yang menghiasi perlakuan kejam umat Yahudi dan bangsa barat terhadap umat muslim ;

Sultan Abdul Hamid, Khafilah Kerajaan Islam Usmaniah, ditawari [baca : disogok] 150 juta uang emas Inggris dan pelunasan semua utang kerajaan Khalifah Usmaniah. Selain itu, Inggris mendirikan satu pasukan armada tentera laut untuk kerajaan Khalifah Usmaniah, membangun Universitas Usmaniah di Baitulmaqdis dan memberikan dukungan politik kepada Sultan Abdul Hamid di Eropa dan Amerika.

Kerajaan Islam Usmaniah walaupun berada dalam keadaan yang parah pada saat itu, namun keimanan yang masih kental di dalam hati Khalifah mendorong Sultan Abdul Hamid memberikan jawaban: ''Saya tidak bisa mentolerir walaupun sejengkal dari bumi Palestina, karena itu bukan milik saya, tetapi milik umat Islam yang telah berperang dan mengorbankan darah untuk mendapatkannya... Sekiranya kamu membayar kepada saya dengan seluruh emas yang ada di atas muka bumi ini sekalipun, saya tidak akan izinkan kamu mengambil bumi Palestina''.


Allah berfirman yang artinya: ''Sungguh engkau Ya Muhammad akan mendapati manusia yang lebih keras sekali permusuhannya kepada orang-orang yang beriman, yaitu orang Yahudi dan orang musyrik...'' (QS al-Maidah: 82). Ayat ini adalah peringatan Allah agar berhati-hati terhadap rencana jahat musuh-musuh Islam.

Sesungguhnya Islam adalah agama yang menganjurkan kedamaian, keamanan, dan persatuan. Islam tidak membedakan manusia berdasarkan warna kulit, kedudukan, pangkat, dan kasta. Islam menganggap semua manusia adalah sama. Yang membedakan mereka hanyalah derajat takwa. Bahkan dalam sistem pemerintahan Islam, orang kafir yang menjadi rakyat hendaklah diperlakukan adil. Harta mereka tidak boleh dirampas dan harga diri mereka tidak boleh dinodai. Hak mereka mesti diberikan. Siapa yang membunuh atau mencuri harta mereka mesti dituntut di pengadilan dan dijatuhi hukuman.

Inilah ajaran Islam. Sayangnya, sejarah membuktikan bahwa pada saat Islam berkuasa orang kafir diberikan hak-haknya, sebaliknya ketika orang kafir yang berkuasa hak umat Islam tidak diakui. Bahkan umat Islam ditindas, dipenjara dan dibunuh.

Ketika tentara salib menyerang dan menaklukkan Baitulmaqdis pada 492 Hijriah, mereka melakukan kekejaman di luar batas kemanusiaan. Membunuh lebih dari 70.000 orang Islam di Masjid Al-Aqsa.

Mereka juga merampas harta milik Masjid Al-Aqsa dan Masjid Sahrata, yaitu emas dan perak yang bernilai jutaan ringgit (miliaran rupiah). Mereka seperti lupa akan perlakuan yang baik dari pemerintah Islam sejak Baitulmaqdis dibebaskan oleh Saidina Umar Al-Khatab pada tahun ke-15 Hijriah. Sejarah selalu berulang dan umat Islam sering menjadi korbannya. Dalam Alquran surah al-Anfal ayat 60, Allah memerintahkan kepada umat Islam agar selalu siap menghadapi musuh.

Musuh-musuh Islam

Pertanyaannya adalah, siapakah yang dikatakan musuh Islam itu? Sebenarnya Islam mempunyai banyak musuh. Mulai dari iblis yang dilaknat Allah sampai manusia yang kufur dan munafik. Allah memberitahu kepada umat Islam bahwa di kalangan manusia, mereka yang sangat memusuhi Islam adalah orang Yahudi.

Siapakah orang Yahudi ? Mereka sebenarnya dari keturunan mulia, bahkan sebagian besar nabi dan rasul diutus oleh Allah dari bangsa ini. Kaum Yahudi atau Bani Israel adalah anak cucu Asbat, yaitu 12 anak Nabi Yakub AS. Nabi Yakub yang juga dikenal sebagai Israel (dalam bahasa ibri, yaitu bahasanya orang Yahudi, Israil artinya dalam bahasa arab: Abdullah, maksudnya adalah hamba Allah) adalah anak dari Nabi Ishak dan keponakan Nabi Ismail serta Nabi Ibrahim (maka Yahudi mengakui kenabian Nabi Ibrahim, Nabi Ishak. Tapi mereka tidak mengakui kenabian Nabi Ismail dan Nabi Muhammad walaupun Nabi Muhammad juga merupakan keturunan Nabi Ibrahim melalui Nabi Ismail). Ini menunjukkan bahwa kaum Yahudi adalah dari keturunan manusia terpilih di sisi Allah.

Mereka menganggap bahwa bangsa lain lebih hina dari anjing dan babi, bahkan membunuh bangsa lain khususnya umat Islam, tidak merupakan satu kesalahan dan tidak berdosa. Sejarah mencatat, kebanyakan nabi dari kalangan Bani Israel ditentang oleh bangsanya sendiri. Nabi Musa dan Harun berkali-kali dikhianati oleh bangsa Yahudi.

Nabi Zakaria dan Nabi Yahya dibunuh oleh mereka. Nabi Isa juga coba dibunuh, tetapi diselamatkan oleh Allah. Bahkan, kaum Yahudi juga pernah menumpahkan darah 300 nabi dari kalangan bangsa mereka sendiri. Setiap kali diutus kepada mereka seorang nabi, hanya segelintir dari kalangan mereka yang beriman.

Begitu juga apa yang terjadi dengan Nabi Muhammad SAW. Sejarah juga meriwayatkan bahwa kaum Yahudi sebenarnya telah berusaha membunuh Nabi Muhammad SAW sebelum Baginda diangkat menjadi rasul. Namun, usaha mereka tidak berhasil.

Setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW, kaum Yahudi pernah coba menghantamkan batu besar ke atas kepala Baginda, menghadiahkan daging beracun, dan meminta bantuan tukang sihir semata-mata untuk membunuh utusan Allah ini. Semua usaha jahat tersebut menjadi bukti jelas bahwa mereka sebenarnya sangat memusuhi Islam, walaupun mereka sebenarnya tahu bahwa Islam itu benar.

Kejahatan kaum Yahudi tidak berhenti pada zaman Rasulullah SAW, bahkan berkelanjutan dari zaman ke zaman sampai hari ini. Pada 1897, satu persidangan diadakan di Basle, Swiss, untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina. Untuk merealisasikan impian tersebut, mereka mendirikan gerakan Zionis yang diketuai Abdul Hamid. Mereka berencana akan memberi suap kepada Sultan Abdul Hamid agar diberikan izin untuk membangun lokalisasi Yahudi.

Sultan Abdul Hamid ditawari 150 juta uang emas Inggris dan pelunasan semua utang kerajaan Khalifah Usmaniah. Selain itu, mereka mendirikan satu pasukan armada tentera laut untuk kerajaan Khalifah Usmaniah, membangun Universitas Usmaniah di Baitulmaqdis dan memberikan dukungan politik kepada Sultan Abdul Hamid di Eropa dan Amerika.

Kerajaan Islam Usmaniah walaupun berada dalam keadaan yang parah pada saat itu, namun keimanan yang masih kental di dalam hati Khalifah mendorong Sultan Abdul Hamid memberikan jawaban: ''Saya tidak bisa mentolerir walaupun sejengkal dari bumi Palestina, karena itu bukan milik saya, tetapi milik umat Islam yang telah berperang dan mengorbankan darah untuk mendapatkannya... Sekiranya kamu membayar kepada saya dengan seluruh emas yang ada di atas muka bumi ini sekalipun, saya tidak akan izinkan kamu mengambil bumi Palestina''.

Gerakan Zionis tidak putus asa. Mereka coba menjalin kerjasama dengan Inggris yang masuk ke Palestina dengan tujuan untuk menjajah. Dalam masa penjajahan tersebut, Inggris membuka jalan masuknya pendatang Yahudi dan membuka lokalisasi ilegal untuk mereka.

Akhirnya pada 29 November 1947, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengumumkan pembagian Palestina kepada dua bagian. Satu untuk orang Arab dan satu lagi untuk membangun negara Israel.

Pada 1948, teroris Yahudi yang diketuai Perdana Menteri Menachem Begin, membunuh umat Islam di Diriasin, kebanyakan korbannya adalah wanita. Penduduk yang masih hidup diangkut dengan truk dan diarak di hadapan penduduk Yahudi dan dilempar dengan batu.

Ariel Sharon ketika menjabat menteri Pertahanan mengirim bala tentera ke selatan Lebanon untuk membunuh umat Islam Palestina yang menjadi pelarian di Sabra dan Syitilla. Selama tiga hari berturut-turut mereka membunuh umat Islam, tidak peduli orang tua, wanita, ataupun kanak-kanak, dengan jumlah korban yang jauh lebih besar yaitu sekitar 17.000 orang.

Kekejaman Sharon sampai ketahap pembunuhan kejam terhadap Syeikh Ahmad pada 2004 yang sempat menggegerkan dunia. Sejak tahun 20-an umat Islam di Palestina telah berjuang menentang penjajahan Inggris dan Yahudi. Banyak yang telah mati Syahid karena mempertahankan bumi tercinta dan martabat agama yang ternodai.

Persatuan yang telah terjalin antaraumat Islam saat itu berhasil mematahkan serangan tentara Yahudi. Namun, kemenangan tersebut tidak bertahan lama karena para pemimpin Arab mulai khawatir dengan kemampuan pasukan-pasukan relawan yang telah dibentuk. Merasa kedudukan mereka semakin terancam dengan kemunculan pejuang-pejuang Islam ini.

Para pejuang Muslim dipanggil pulang, kemudian dimasukkan dalam penjara. Ada juga yang dibunuh seperti Hassan Al-Banna dan Abdul Kadir Audah. Pemimpin Arab seterusnya menutup pintu perbatasan untuk menghalangi pejuang Islam menyeberang ke Palestina. Sampai hari ini tidak ada yang diizinkan membawa masuk bala bantuan kepada umat Islam yang tertindas di Palestina.


Peristiwa Palestin akibat perpecahan umat

Umat Islam gelisah melihat kekejaman Yahudi terhadap rakyat Palestin. Seluruh negara Islam menunjukkan sikap marah dan benci terhadap rejim Yahudi Ariel Sharon, yang terkenal sebagai pemimpin Yahudi yang ganas dan tidak berperikemanusiaan. Peristiwa yang berlaku di Palestin itu perlu dijadikan renungan oleh umat Islam. Sebagai umat Islam, peristiwa penyembelihan rakyat Palestin di Shatila dan Shubra sepatutnya dijadikan satu iktibar yang baik, yang boleh membangkitkan semangat perpaduan di kalangan orang Arab.

Israel adalah sebuah negara yang kecil, yang dikelilingi oleh negara-negara Arab dan Islam di Timur Tengah. Persoalannya, kenapa negara kecil itu begitu berkuasa dan berani menunjukkan keganasan terhadap rakyat Palestin, sedangkan mereka dikelilingi oleh negara-negara Arab?

Umat Islam dan negara-negara Arab hanya mampu untuk menunjukkan kemarahan mereka, dan meminta bantuan Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu menyelesaikan masalah keganasan Yahudi. Kenapa umat Islam begitu lemah dan tidak berdaya untuk menghalang kuasa Yahudi bermaharajalela di tanah suci Baitulmaqdis?

Ini perlu dilihat dan dikaji mengikut perspektif ajaran Islam. Pengabaian terhadap ajaran al-Quran, hadis dan sejarah adalah antara faktor utama di mana umat Islam sering menjadi bahan persendaan masyarakat agama lain.

Faktor utama yang menggalakkan penindasan Yahudi terhadap rakyat Palestin ialah, kegiatan yang dilakukan oleh Yahudi terhadap rakyat Palestin tidak mendapat tentangan dunia Barat secara serius, malah sokongan Amerika Syarikat terhadap Israel telah bermula sejak Zionis bertapak di Jerusalem.

Sikap dan mentaliti masyarakat Arab juga merupakan salah satu faktor terpenting yang menyebabkan mereka mudah dipersendakan dan ditindas oleh Yahudi dan Amerika. Mereka kurang prihatin terhadap firman Allah dalam surah 42 (al-Syura) ayat 13 yang bermaksud;

"Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa iaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.''

Perkataan tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah, perlu dijadikan prinsip hidup umat Islam. Usaha untuk menyatupadukan masyarakat itu merupakan satu matlamat perjuangan hidup umat Islam. Tetapi malangnya, firman Allah dalam soal ini, tidak dihiraukan oleh umat Islam keseluruhannya.

Paling menyukarkan keadaan apabila umat Islam saling bertikai dan bermusuhan apabila keadaan keselamatan dan kedudukan mereka terancam. Peristiwa yang berlaku di negara Arab dan Palestin perlu dijadikan satu panduan hidup umat Islam keseluruhannya.

Dalam keadaan mereka ditindas oleh Israel dan Amerika, rakyat Palestin dan Arab berpecah-belah. Pembunuhan sesama sendiri sering berlaku. Perebutan kuasa sesama sendiri, bukan sahaja boleh menyebabkan keadaan menjadi lemah, malah ia juga menjuruskan kepada sistem perhambaan kepada Barat.

Pemimpin-pemimpin negara tersebut gemar menjadi boneka kepada Barat. Mereka tidak ada pendirian dalam menentukan dasar negara dan sistem pemerintahan yang mantap. Ini disebabkan oleh tahap penyalahgunaan kuasa dan rasuah berada dalam tahap yang tinggi. Oleh itu, mereka tidak prihatin terhadap kepentingan agama, masyarakat dan negara.

Sikap pemimpin mereka yang suka mengikut telunjuk dan arahan dari Barat jelas kelihatan dalam Perang Iraq-Kuwait pada 2 Agustus-8 November 1990.

Minyak adalah sumber kekayaan dan senjata utama negara-negara Arab. Sumber kekayaan yang dimiliki oleh mereka sudah cukup untuk memperkukuhkan kedudukan ekonomi dan kuasa mereka.

Sikap mementingkan kuasa, tanpa menghiraukan kepentingan ramai telah mendarah daging di hati negara Arab sehingga mereka berani berperang sesama sendiri, dan secara langsung menjemput Amerika dan negara Eropa lain menyertai peperangan membunuh sesama umat Islam. Ini merupakan satu sejarah hitam dalam negara yang kaya dengan sumber kekayaan asli. Peristiwa Perang Iraq-Kuwait berlaku adalah berkaitan dengan penentuan harga minyak.

Iraq meminta kerjasama dari Kuwait dan negara-negara Arab yang kaya supaya menaikkan harga minyak untuk membantu kedudukan ekonomi negaranya. Kejatuhan harga minyak ketika itu telah memberi satu tekanan yang hebat kepada kedudukan ekonomi Iraq.

Harga minyak dunia telah jatuh daripada AS$39-$40 dalam tahun 1980 kepada AS$18-$12 dalam tahun 1988. Menteri minyak Kuwait mahu menjual lebih banyak minyak dengan menurunkan harga, de-ngan tujuan untuk mendapat kekayaan secepat mungkin. Sedangkan Saddam Hussein mahu undang-undang lebih serius dalam menentukan harga minyak, dengan harapan harga minyak akan naik sehingga sekurang-kurangnya AS$25 satu tong.

Penurunan harga minyak memberi keuntungan kepada Amerika dan Israel, yang amat memerlukan minyak yang murah. Pada 17 dan 18 Julai 1990, Saddam secara terbuka menuduh Kuwait dan Emirat Arab Bersatu (UAE) membantu plot Zionis. Kuwait tidak memberi perhatian terhadap rayuan Saddam, dan meneruskan rancangannya menjual minyak dengan harga yang murah. Ini membangkitkan kemarahan Saddam lalu mengisytiharkan peperangan ke atas Kuwait.

Kekuatan Palestin dan negara Arab akan wujud jika mereka bersatu dan memperkukuhkan persaudaraan sesama sendiri. Sekarang mereka menjadi terlalu gelisah, dan hanya mampu menjerit dan berarak di jalan raya untuk mendapat simpati masyarakat luar.

Kekuatan tidak akan wujud jika tidak ada persediaan dan pakatan yang kukuh sesama mereka. Masyarakat luar sukar untuk menghulur bantuan jika masyarakat Arab membunuh dan tidak menjalinkan kasih sayang sesama sendiri. Mereka perlu amal konsep persaudaraan yang kukuh jika mereka ingin dihormati oleh orang luar dan digeruni oleh Israel.

Sikap negatif masyarakat Arab ini tidak perlu dijadikan sebagai corak hidup masyarakat dalam negara ini. Perasaan kasih sayang, hormat menghormati dan tolak ansur sesama sendiri perlu dijadikan sebagai prinsip hidup. Sikap membangkitkan semangat pergaduhan dan permusuhan itu adalah punca kepada kehancuran.

Peristiwa yang berlaku di Palestin dan negara-negara Arab, akibat daripada perpecahan umat perlu direnung oleh kesemua pergerakan Islam, politik dan masyarakat. Keamanan yang wujud dalam negara ini perlu dikekalkan supaya kita menjadi satu negara Islam yang dihormati. Pergaduhan, sikap memaki hamun dan menjerit dengan suara lantang bukan cara untuk menyelesaikan masalah. Perundingan, faham memahami dan rasional dalam pemikiran adalah satu cara yang baik untuk memajukan negara.

Info source, click site here..

  • Muallaf.com

  • Skypin.tripod.com





  • 5.10.07

    Easy Backup for Outlook Express


    Easy Backup for Outlook Express lets you backup and restore your Outlook Express data such as identities, email messages, email account settings, message rules, the address book, list of blocked senders, signatures and settings as well as backup and restore your Favorites, Windows Address Book and My Documents. The program produces encrypted archive files containing all your data, which you can put on a CD and use for transferring your data to a new PC. Easy Backup for Outlook Express has support for multiple user accounts and identities; you can move your data not only between identities of the same user, but also between different user accounts and computers. All users of your PC can maintain their own independent backups. Backups can be stored in a folder of your hard disk, put on CD, DVD or removable devices just by using standard Windows features. The program is very easy to use, excellent online help is also available. Try our Internet and email tools. Free downloads.

    Easy Backup for Outlook Express

    Version: 2.1
    Date: 01/01/07
    Size: 893 KB
    Price: $34

    Compatibility:

    Windows 9x/ME
    Windows NT4
    Windows 2000
    Windows XP
    Windows 2003
    Windows Vista

    PC Tool AntiVirus

    With PC Tools AntiVirus you are protected against the most nefarious cyber-threats attempting to gain access to your PC and personal information. Going online without protection against the latest fast-spreading virus and worms, such as Netsky, Mytob and MyDoom, can result in infections within minutes.

    Once infected, the virus will usually attempt to spread itself to your friends, family and associates by accessing your email contacts and networked PCs. The infection may also allow hackers to access files on your PC, use it to launch attacks against other computers and websites or to send mass SPAM email.

    That's why PC Tools AntiVirus provides world-leading protection, with rapid database updates, OnGuard™ real-time protection and comprehensive system scanning to ensure your system remains safe and virus free. PC Tools products are trusted and used by millions of people everyday to protect their home and business computers against online threats.

    PC Tools AntiVirus feature highlights

    • Memberikan perlindungan pada PC anda saat dijalankan, browsing, dan dimainkan.
    • Mendeteksi, mengkarantina, membasmi dan menghancurkan berbagai ancaman Virus, Trojan, dan Worm.
    • OnGuard™ siap memberikan perlindungan menyeluruh terhadap PC anda dalam melawan ancaman Virus, Trojan, dan Worm setiap saat.
    • Update otomatis berkali-kali.
    • dan keuntungan lainnya...

    Download PC Tools AntiVirus Free Edition

    In addition to the paid version which includes priority updates and support, PC Tools also offers a special Free Edition of PC Tools AntiVirus. Click the link below to learn more about the free version and experience why people are switching to PC Tools AntiVirus.

    Current Version: 3.6.0.34
    Released: September 12, 2007
    Size: 12,314 KB
    Platforms: Designed for Windows® Vista™, XP and 2000

    Download feature PC Tool AntiVirus






    Menghilangkan Spyware




    Saya sering mendengar banyak orang yang mengeluh karena komputer mereka akhir-akhir ini lambat sekali jalannya dan kebanyakan juga protes karena banyak iklan 'pop-up' yang muncul ketika mereka lagi browsing internet.

    Pop-up ini disebabkan oleh program berhasil diinstall di komputer kita yang juga dikenal dengan nama spyware.

    Saya sendiri belum pernah mengalami hal ini. Sampai minggu lalu, giliran koputer saya yang kena. Hasilnya seperti anda tahu sendiri, jendela-jendela iklan mulai bermunculan di layar komputer saya. Sampai pop-up itu bermunculan meskipun saya sedang tidak membuka 'browser'. Spyware ini juga sepertinya mengajak teman-temannya untuk kumpul dikomputer saya. Banyak sekali program yang secara otomatik diinstall dikomputer saya.

    Saya mencoba untuk meng-scan komputer saya dengan antivirus, memang ada beberapa program yang berhasil dihapus oleh si anti-virus. Tetapi tetap saja tidak memecahkan masalah. Setelah saya teliti ternyata banyak sekali spyware ini yang telah ter-install dalam waktu beberap hari saja, sehingga tidak mungkin untuk mebersihkannya satu persatu. Lagipula sebagian besar spyware ini menggunakan nama file yang mirip dengan system file di komputer kita. Jika tidak dengan teliti membersihkannya maka bisa saja kita salah menghapus file yang diperlukan oleh operating system kita yang malah akan memperburuk situasi.

    Contoh tampilan komputer yang terinfeksi Spyware ;




    Bagaimana cara menanggulangi masalah yang diakibatkan spyware?

    Banyak program spy removal yang beredar saat ini untuk menanggulangi masalah seperti ini. Tetapi program apa yang paling manjur untuk menghilangkan spyware?. Setelah bermain-main dengan mencoba berbagai program spy removal yang ada saat ini, akhirnya saya menemukan software yang bagus yang dapat meghilangkan semua spyware di komputer saya. Mudah-mudahan ini dapat membantu saudara, apalagi cara ini bisa didapatkan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.


    1. Software pertama adalah SpyBot Search & Destroy. Anda dapat men-download-nya di http://www.safer-networking.org. Install software ini dan update database-nya dengan menekan tombol 'search for update'. Tekan tombol 'Search for Problems' dan hapus program yang ditemukannya. Reboot komputer anda.
    2. Software yang kedua adalah Ad-aware keluaran Lava-Soft (http://www.lavasoftusa.com). Download free version-nya dan install dikomputer anda. Seperti sebelumnya, update dulu database-nya dan jalankan.

    Hapus semua program yang ditemukannya dan reboot komputer anda.

    Untuk lebih amannya ulang kedua langkah diatas sekali lagi sampai semua spyware yang ada di komputer tidak ditemukan lagi. Anda dapat menjalankan program ini dan meng-update database-nya paling tidak seminggu sekali.

    Bagaimana spyware ini bisa sampai di komputer kita?

    Program ini bisa sampai di komputer kita karena setting security di komputer kita terlalu rendah. Beberapa langkah dibawah dapat membantu supaya masalah seperti ini tidak terulang kembali:

    1. Hati-hati dengan program-program yang anda install. Banyak program download seperti Kazaa, Imesh dlsb. yang menginstall software lainnya yang dapat membuat komput

    er anda lambat dan bahkan dapat mebuat komputer and crash.
    2. Update komputer anda dengan patch yang disediakan Microsoft. Di Internet Explorer, buka Tools > Windows Update > Product Update dan install semua security update yang ada. Penting untuk meng-update security fixes ini secara regular. Update juga Java VM karena banyak juga program yang menggunakannya.
    3. Di Internet Explorer, klik Tools > Internet Options > Security > Internet. Tekan tombol 'default' dan tekan 'OK'. Sekarang tekan 'Custom Level'. Untuk 'ActiveX', pilih 'prompt' untuk 'Download signed and unsigned ActiveX control'. Pilih 'disable' untuk 'Download unsigned ActiveX controls' dan 'Initialize and script ActiveX control'.

    Jika anda sedang menggunakan internet, anda mungkin akan ditanya apabila ada software yang mau di install di komputer anda. Untuk websites yang and sudah ketahui dan percay

    ai anda dapat memindahkannya ke 'Trusted Zone' di Internet option > security.

    Mengapa ActiveX berbahaya sampai anda harus meningkatkan security di komputer anda?

    Ketika 'browser' anda menjalankan ActiveX control, ini sama saja dengan memerintahkan komputer anda untuk menjalan program (mengistall software dsb.). Apakah anda mau menjalankan program tanpa mengetahui program apa itu dan akibatnya bagi komputer anda?

    Anda dapat menggunakan fitur 'Immunize' di SpyBot Search & Destroy untuk mencegah website-website yang tidak diinginkan menginstall program di komputer anda.


    Program yang berfungsi sama yang juga dapat anda install adalah SpywareBlaster dari Javacool (http://www.wilderssecurity.net). Program yang saya rekomendasikan dari Javacool lainnya adalah SpywareGuard. Software ini bekerja seperti anti virus tetapi untuk mencegah spyware. Tidak ada salahnya untuk menginstall software ini sebagai tambahan antivirus anda. Ada juga website menarik dimana anda juga dapat menjalankan security test untuk browser anda di http://www.jasons-toolbox.com.

    Jika anda punya pertanyaan lebih lanjut, silahkan kontak Abner Kuswardono (abnerk @ msn.com).


    sumber: www.itcenter.or.id






    4.10.07

    Bermuda Triangle Mistery

    Misteri Kuno Segitiga Bermuda.....



    Segitiga Bermuda (bahasa Inggris: Bermuda Triangle), terkadang disebut juga Segitiga Setan adalah sebuah wilayah lautan di Samudra Atlantik seluas 1,5 juta mil2 atau 4 juta km2 yang membentuk garis segitiga antara Bermuda, wilayah teritorial Britania Raya sebagai titik di sebelah utara, Puerto Riko, teritorial Amerika Serikat sebagai titik di sebelah selatan dan Miami, negara bagian Florida, Amerika Serikat sebagai titik di sebelah barat. Segitiga Bermuda dikenal karena isu paranormal yang berhubungan menghilangnya sejumlah kapal dan pesawat terbang yang memasuki area tersebut. Tak semua pertanyaan ada jawabannya. Demikian pula dengan sejumlah peristiwa dan fenomena alam di bumi ini. Tak semua (belum) bisa dijelaskan.

    Bagi Anda yang gemar kisah misteri :devil, pasti mengenal Segitiga Bermuda. Wilayah laut di selatan Amerika Serikat dengan titik sudut Miami (di Florida), Puerto Rico (Jamaica), dan Bermuda ini, telah berabad-abad menyimpan kisah yang tak terpecahkan. Misteri demi misteri bahkan telah dicatat oleh pengelana samudera macam Christopher Columbus.

    Sekitar 1492, ketika dirinya akan mengakhiri perjalanan jauhnya menuju dunia barunya, Amerika, Columbus sempat menyaksikan fenomena aneh di wilayah ini. Di tengah suasana laut yang terasa aneh, jarum kompas di kapalnya beberapa kali berubah-ubah. Padahal cuaca saat itu begitu baik.

    Lebih dari itu, tak jauh dari kapal, pada suatu malam tiba-tiba para awaknya dikejutkan dengan munculnya bola-bola api yang terjun begitu saja ke dalam laut. Mereka juga menyaksikan lintasan cahaya dari arah ufuk yang kemudian menghilang begitu saja.

    Begitulah Segitiga Bermuda. Di wilayah ini, indera keenam memang seperti dihantui ’suasana’ yang tak biasa. Namun begitu rombongan Columbus masih terbilang beruntung, karena hanya disuguhi ‘pertunjukkan’. Lain dengan pelintas-pelintas yang lain.

    Menurut catatan kebaharian, peristiwa terbesar yang pernah terjadi di wilayah ini adalah lenyapnya sebuah kapal berbendera Inggris, Atalanta, pada 1880. Tanpa jejak secuilpun, kapal yang ditumpangi tiga ratus kadet dan perwira AL Inggris itu raib di sana. Selain Atalanta, Segitiga Bermuda juga telah menelan ratusan kapal lainnya.

    Di lain kisah, Segitiga Bermuda juga telah membungkam puluhan pesawat yang melintasinya. Peristiwa terbesar yang kemudian terkuak sekitar 1990 lalu adalah raibnya iring-iringan lima Grumman TBF Avenger AL AS yang tengah berpatroli melintas wilayah laut ini pada siang hari 5 Desember 1945. Setelah sekitar dua jam penerbangan komandan penerbangan melapor, bahwa dirinya dan anak buahnya seperti mengalami disorientasi. Beberapa menit kemudian kelima TBF Avenger ini pun raib tanpa sempat memberi sinyal SOS.

    Anehnya, misteri Avenger tak berujung di situ saja. Ketika sebuah pesawat SAR jenis Martin PBM-3 Mariner dikirim mencarinya, pesawat amfibi gembrot dengan tigabelas awak ini pun ikut-ikutan lenyap. Hilang bak ditelan udara. Keesokan harinya ketika wilayah-wilayah laut yang diduga menjadi tempat kecelakaan keenam pesawat disapu enam pesawat penyelamat pantai dengan 27 awak, tak satu pun serpihan pesawat ditemukan. Ajaib.

    Tahun demi tahun berlalu. Sekitar 1990, tanpa dinyana seorang peneliti berhasil menemukan onggokan kerangka pesawat di lepas pantai Fort Launderdale, Florida. Betapa terkejutnya orang-orang yang menyaksikan. Karena, ketika dicocok kan, onggokan metal itu ternyata bagian dari kelima TBF Avenger.

    Hilangnya C-119

    Kisah ajaib lainnya adalah hilangnya pesawat transpor C-119 Flying Boxcar pada 7 Juni 1965. Pesawat tambun mesin ganda milik AU AS bermuatan kargo ini, hari itu pukul 7.47 lepas landas dari Lanud Homestead. Pesawat dengan 10 awak ini terbang menuju Lapangan Terbang Grand Turk, Bahama, dan diharapkan mendarat pukul 11.23.

    Pesawat ini sebenarnya hampir menuntaskan perjalanannya. Hal ini diketahui dari kontak radio yang masih terdengar hingga pukul 11. Sesungguhnya memang tak ada yang mencurigakan. Kerusakan teknis juga tak pernah dilaporkan. Tetapi Boxcar tak pernah sampai tujuan.

    “Dalam kontak radio terakhir tak ada indikasi apa-apa bahwa pesawat tengah mengalami masalah. Namun setelah itu kami kehilangan jejaknya,” begitu ungkap juru bicara Penyelamat Pantai Miami. “Besar kemungkinan pesawat mengalami masalah kendali arah (steering trouble) hingga nyasar ke lain arah,” tambahnya.

    Seketika itu pula tim SAR terbang menyapu wilayah seluas 100.000 mil persegi yang diduga menjadi tempat kandasnya C-119. Namun hasilnya benar-benar nihil. Sama seperti hilangnya pesawat-pesawat lainnya di wilayah ini, tak satu pun serpihan pesawat atau tubuh manusia ditemukan.

    “Benar-benar aneh. Sebuah pesawat terbang ke arah selatan Bahama dan hilang begitu saja tanpa jejak,” demikian komentar seorang veteran penerbang Perang Dunia II.

    Seseorang dari Tim SAR mengatakan, kemungkinan pesawat jatuh di antara Pulau Crooked dan Grand Turk. Bisa karena masalah struktur, ledakan, atau kerusakan mesin. Kalau memang pesawat meledak, kontak radio memang pasti tak akan pernah terjadi, tetapi seharusnya kami bisa menemukan serpihan pecahannya. Begitu pula jika pesawat mengalami kerusakan, mestinya sang pilot bisa melakukan ditching (pendaratan darurat di atas air). Pasalnya, cuaca saat itu dalam keadaan baik. Dalam arti langit cerah, ombak hanya sekitar satu meter, dan angin hanya 15 knot.

    Analisis selanjutnya memang mengembang kemana-mana. Namun tetap tidak menghasilkan apa-apa. Kasus C-119 Flying Boxcar pun terpendam begitu saja, sampai akhirnya pada tahun 1973 terbit artikel dari International UFO Bureau yang mengingatkan kembali sejumlah orang pada kasus ajaib tersebut.

    Dalam artikel ini dimuat kesaksian astronot Gemini IV, James McDivitt dan Edward H. White II, yang justru membuat runyam masalah. Rupanya pada saat-saat di sekitar raibnya C-119, dia kebetulan tengah mengamati wilayah di sekitar Karibia. Gemini kebetulan memang sedang mengawang-awang di sana. Menurut catatan NASA, pada 3 sampai 7 Juni 1965 keduanya tengah melakukan eksperimen jalan-jalan ke luar kapsul Gemini dengan perlengkapan yang dirahasiakan.

    Menurut Divitt, dia melihat sebuah pesawat tak dikenal (UFO) dengan semacam lengan mekanik kedapatan sedang meluncur di atas Karibia. Beberapa menit kemudian Ed White pun menyaksikan obyek lainnya yang serupa. Sejak itulah lalu merebak isu, C-119 diculik UFO. Para ilmuwan pun segera tertarik menguji kesaksian ini. Tak mau percaya begitu saja, mereka mengkonfirmasi obyek yang dilihat kedua astronot dengan satelit-satelit yang ada disekitar Gemini IV. Boleh jadi ‘kan yang mereka salah lihat ? Maklum saat itu (hingga kini pun), banyak pihak masih menilai sektis terhadap kehadiran UFO.

    Ketika itu kepada kedua astronot disodori gambar Pegasus 2, satelit raksasa yang memang memiliki antene mirip lengan sepanjang 32 meter dan sejumlah sampah satelit yang ada di sekitar itu. Namun baik dari bentuk dan jarak, mereka menyanggah jika telah salah lihat.

    “Sekali lagi saya tegaskan, dengan menyebut UFO ‘kan tak berarti saya menunjuk pesawat ruang angkasa dari planet lain. Pengertian UFO sangat universal. Bahwa jika saya melihat pesawat yang menurut penilaian saya tak saya kenal, tidakkah layak jika saya menyebutnya sebagai UFO?” sergah Divitt.

    Begitulah kasus C-119 Flying Boxcar yang tak pernah terpecahkan hingga kini. Diantara kapal atau pesawat yang raib di wilayah Segitiga Bermuda kisahnya memang senantiasa sama. Terjadi ketika cuaca sedang baik, tak ada masalah teknis, kontak radio berjalan biasa, tetapi si pelintas tiba-tiba menghilang begitu saja. Tanpa meninggalkan jejak sama sekali.

    Banyak teori kemudian dihubung-hubungkan dengan segala kejadian di sana. Ada yang menyebut teori pelengkungan waktu, medan gravitasi terbalik, abrasi atmosfer, dan ada juga teori anomali magnetik-gravitasi. Selain itu ada juga yang mengaitkannya dengan fenomena gampa laut, serangan gelombang tidal, hingga lubang hitam (black-hole) yang hanya terjadi di angkasa luar sana. Aneh-aneh memang analisanya, namun tetap saja tak ada satu pun yang bisa menjelaskannya. Hanya ALLAH yang mengetahui di balik semua ini……

    Belum lama ini tahun lalu, beberapa ilmuwan Amerika, Perancis dan negara lainnya pada saat melakukan survey di area dasar laut Segitiga Bermuda, Samudera Atlantik, menemukan sebuah piramida berdiri tegak di dasar laut yang tak pernah diketahui orang, berada dibawah ombak yang menggelora! Panjang sisi dasar piramida ini mencapai 300 meter, tingginya 200 meter, dan jarak ujung piramida ini dari permukaan laut sekitar 100 meter. Jika bicara tentang ukuran, piramida ini lebih besar skalanya dibandingkan dengan piramida Mesir kuno yang ada di darat. Di atas piramida terdapat dua buah lubang yang sangat besar, air laut dengan kecepatan tinggi melalui kedua lubang ini, dan oleh karena itu menggulung ombak yang mengamuk dengan membentuk pusaran raksasa yang membuat perairan disekitar ini menimbulkan ombak yang dahsyat menggelora dan halimun pada permukaan laut. Penemuan terbaru ini membuat para ilmuwan takjub.

    Bagaimanakah orang dulu membangun piramida dan hidup didasar laut dengan lautnya yang gemuruh menggelora? Ada beberapa ilmuwan Barat yang berpendapat bahwa Piramida di dasar laut ini mungkin awalnya dibuat diatas daratan, lalu terjadi gempa bumi yang dahsyat, dan tenggelam ke dasar laut seiring dengan perubahan di darat. Ilmuwan lainnya berpendapat bahwa beberapa ratus tahun yang silam perairan di area Segitiga Bermuda mungkin pernah sebagai salah satu landasan aktivitas bangsa Atlantis, dan Piramida di dasar laut tersebut mungkin sebuah gudang pemasokan mereka. Ada juga yang curiga bahwa Piramida mungkin sebuah tanah suci yang khusus dilindungi oleh bangsa Atlantis pada tempat yang mempunyai sejenis kekuatan dan sifat khas energi kosmosnya, dia (Piramida) bisa menarik dan mengumpulkan sinar kosmos, medan energi atau energi gelombang lain yang belum diketahui.dan struktur pada bagian dalamnya mungkin adalah resonansi gelombang mikro, yang memiliki efek terhadap suatu benda dan menghimpun sumber energi lainnya.
    Benarkah demikian? Master Li Hongzhi dalam buku Zhuan Falun mempunyai penjelasan tentang penemuan peradaban prasejarah sebagai berikut;
    “Di atas bumi ada benua Asia, Eropa, Amerika Selatan, Amerika Utara, Oceania, Afrika dan benua Antartika, yang oleh ilmuwan geologi secara umum disebut ‘lempeng kontinental’. Sejak terbentuknya lempeng kontinental sampai seakrang, sudah ada sejarah puluhan juta tahun. Dapat dikatakan pula bahwa banyak daratan berasal dari dasar laut yang naik ke atas, ada juga banyak daratan yang tenggelam ke dasar laut, sejak kondisi ini stabil sampai keadaan sekarang , sudah bersejarah puluhan juta tahun. Namun dibanyak dasar laut, telah ditemukan sejumlah bangunan yang tinggi besar dengan pahatan yang sangat indah, dan bukan berasal dari warisan budaya umat manusia modern, jadi pasti bangunan yang telah dibuat sebelum ia tenggelam ke dasar laut.” Dipandang dari sudut ini, misteri asal mula Piramida dasar laut ini sudah dapat dipecahkan.

    The Arab Betrayal Islam..

    The Arab Betrayal of Balkan Islam



    by Stephen Schwartz
    Middle East Quarterly
    Spring 2002

    In the wake of the atrocities of September 11, many American and other Western commentators have asked a perplexing question. They point out that the aim of the last three wars fought by the United States and its allies was to rescue Muslim or Muslim-majority peoples from aggression. Thus, the Kuwait war of 1991 saved Kuwait from Iraqi invasion. The 1995 intervention in Bosnia-Hercegovina halted Serbian attacks in which some 200,000 people, the majority of them Muslims, were killed, and thousands of more people were raped, tortured, and driven from their homes. And the 1999 bombing of Serbia prevented the expulsion from Kosovo of two million ethnic Albanians, of whom at least 80 percent were Muslims.

    Why then, the commentators ask, should so many Arab Muslims hate America? Have they forgotten these acts? A disregard among certain Arabs for U.S. protection of the Kuwaiti rulers, and by extension the Saudi monarchy, is perhaps understandable. Even pious Muslims
    among the Arabs have been known to admire Saddam Husayn, or to think that his invasion of Kuwait paled in comparison with Saudi corruption. But don’t Arab Muslims care that the United States saved the Balkan Muslims and Albanians from extermination or exile? Weren’t the Balkans a clear-cut case of massive U.S. military and humanitarian intervention on behalf of Muslims in distress?

    Yet it is a fact that no credit was given where credit was due. Fouad Ajami confirmed the point in an interview with the Washington Post:

    Ajami asked why … no Arab or Muslim leader has given the United States thanks or credit for taking military risks on behalf of two Muslim populations in Europe: the Bosnians and Kosovars. "I have heard no one acknowledge any gratitude for that … It’s a mystery."1
    The mystery seems to deepen when one hears or reads what many Arabs do say about the U.S. intervention. These Arab assessments tend to be overwhelmingly negative—so much so that Usama bin Ladin himself denigrated of the U.S. intervention in the Balkans part of his standard repertoire. In a 1996 interview, the terrorist chief denounced America for "withholding of arms from the Muslims of Bosnia-Hercegovina" during the 1992-95 war there.2 Many of his Arab listeners would have known the truth: that it was Europe and the United Nations, not the United States, which erected and maintained the embargo on arms to the Bosnian Muslims. The U.S. intelligence community cooperated with other countries, including Iran, to arm the Bosnian Muslims in secret.

    Bin Ladin, under U.S. attack in Afghanistan in November 2001, thought it useful to return to this theme, in a manifesto broadcast on Al-Jazira television. There he referred to
    a war of genocide in Bosnia in sight and hearing of the entire world in the heart of Europe. For several years our brothers have been killed, our women have been raped, and our children have been massacred in the safe havens of the United Nations.3
    It was a claim whose efficacy relied on Arab ignorance. For it was a plain fact that there had been no mass rapes or massacres in the country since U.S. intervention in 1995 and the imposition of the Dayton agreement; that the United Nations International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia in The Hague had indicted the Yugoslav leadership for genocide; and that even as bin Ladin spoke, Milosevic himself sat in prison in The Hague awaiting trial.

    The willful self-deception about U.S. actions in the Balkans expressed by bin Ladin had a surprisingly wide echo among Arab Muslims, and especially among certain of bin Ladi
    n’s fellow Saudis. An "Open Letter to President Bush" penned by the Saudi Islamic cleric Safar ibn ‘Abd ar-Rahman al-Hawali, a leader of the country’s extremist opposition, taunted the Americans: "One of your smart missiles infuriated the Yellow Giant [China] by destroying its embassy in Belgrade." Incredibly, al-Hawali failed to mention the obvious: that the accidental bombing of the Chinese Embassy to Yugoslavia had taken place during the Kosovo intervention, and that China had sided with Milosevic in the U.N. in order to block action to save the Albanians.4

    This myopia has been peculiar to the Arabs. Turks, for example, know better. The Turkish journalist (and former diplomat) Gündüz Aktan provided a typical Turkish assessment of the U.S. role in the Balkan wars, in the midst of the Afghan bombing:
    The United States, [after] it could not convince our European friends, stopped the Serbian aggressions with a military intervention in Bosnia-Hercegovina … the forces of the United States constituted 90 percent of the NATO [North Atlantic Treaty Organization] forces which brought Yugoslavia to heel, after it (repressed) the Kosovar Albanians and (sought to expel them); and it is observed that the United States also played an important role in the recognition of extensive rights for the Albanians in Macedonia.5
    Even more telling was the pro-American position taken by many Balkan Muslims as the "war on terror" unfolded. The Albanian government, which had been extremely active in helping the U.S. Central Intelligence Agency break up a pro–bin Ladin cell composed of Egyptians, put bin Ladin in the same category as Milosevic:
    Enemies of civilization like Milosevic or bin Ladin should end up in the defendant’s dock … bin Ladin will soon be held accountable alongside the "Butcher of the Balkans."6
    The Islamic leaders in Albanian-speaking territories, including Kosovo and western Macedonia, were even more outspoken in support of the United States. The day after the September 11 attacks, Haxhi Dede Reshat Bardhim, world leader of the Bektashi sect, which is headquartered in Tirana and has at least two million Albanian adherents, sent a message to President George W. Bush referring to America as "the pride of this world" and declaring, "May Allah be, as always, on the side of the American people and the American state!"7

    On October 12, in the Kosovo capital of Prishtina, the grand mufti of Kosovo, Rexhep Boja, prayed for the American dead at a commemorative meeting organized by the U.S. diplomatic office. (Washington has no official ambassadorial or consular representation in Kosovo.) The prayer service was led jointly with the Albanian Catholic bishop of Kosovo, Monsignor Mark Sopi. Chief imam of the Kosovo Islamic community Burhan Hashani commented: "The people of Kosovo will never forget America and its assistance."8

    The day after the start of the Afghan bombardment, a Tirana daily offered a stirring headline for the military offensive, showing that some Muslims eagerly wished for the punishment of Islamic extremists: "Nobody Veils the Statue of Liberty’s Face."9 The Kosovapress news agency, established by the Kosovo Liberation Army (KLA), printed statements from the two political formations that emerged from the KLA, the Kosovo Democratic Party (PDK) headed by Hashim Thaci, and the Alliance for Kosovo’s Future (AAK) led by Ramush Haradinaj. Thaci and Haradinaj are the two public figures most identified with the armed Albanian struggle against Serbia. They criticized the refusal of the Taliban regime to hand over the leaders of al-Qa‘ida, as demanded by the U.S., and affirmed that "the people of Kosovo bear a natural and special responsibility to the United States and its allies," promising to render "conscious and unlimited support" to the global fight on Islamic terror.10

    There was nothing surprising about the enthusiasm for U.S. global leadership expressed by Albanian Muslims. They know the lengths to which the United States has gone to protect them and other Balkan Muslims. The resentments they harbor over betrayal by false friends are directed not against America but against the Arabs, who either sided with Milosevic or treated Balkan Muslims with supreme condescension.

    Milosevic’s Arab Friends

    As someone who has lived in Sarajevo, I have been struck by the hostile attitudes of Muslim politicians and intellectuals toward Arab states. They are bitter that these states watched passively as thousands of indigenous European Muslims were slain in the Balkans, offering no assistance aside from press releases, aid donations, and religious propaganda. In addition, conspiracy theories about Arab behavior abound among Balkan Muslims. Some believe that there existed a clandestine alliance between Milosevic’s Yugoslavia and the Arab states—an alliance resting on the role of the Arab Orthodox Christian churches in Palestinian nationalism, historic links between Arabs and the former Soviet Union and other Communist states (including former Yugoslavia), and a common anti-Americanism. Others point to an alleged Arab resentment of the cultural association between Balkan and Ottoman Islamic traditions, both of which are despised by the followers of the Saudi Wahhabi sect.

    There can be no doubt that Milosevic found many bedfellows among radical Arab states and movement, which rallied to his defense during the NATO operations against him. Iraq and Libya both described the NATO action in Kosovo as an anti-Yugoslav aggression, while Syria and Lebanon registered no reaction to events there. Earlier, Libyan foreign minister ‘Umar al-Muntasir had announced, after a meeting with the Yugoslav ambassador to Libya, that Libyan leader Mu‘ammar al-Qadhdhafi supported "dialogue" between Belgrade and the Kosovars without foreign intervention.11 This amiable exchange came one month after the first pitched battle between Serb forces and the KLA, in the Kosovo town of Rahovec, on July 19, 1998. At Rahovec, up to 150 Albanians died; the Serbs buried their victims in two mass graves in the area of Prizren.

    The incident was among the most traumatic of the Kosovo conflict, but came during a season of horrors. In August and September 1998—while the Libyans and Serbs were chatting familiarly—Serb mass executions were recorded in Ranca (eleven people killed, eight of them children), Galica near Vushtrri (fourteen dead, mainly young men), and Golluboc (eight child victims), while in Abria e Epërme, a whole family of twenty-two persons was wiped out. By the end of 1998, half a million Albanians had fled their homes. Yet on May 3, 1999, with the NATO bombing of Serbia underway for weeks, Qadhdhafi called for a halt to all military operations in Kosovo, the withdrawal of Serbian and NATO troops, a peace agreement drawn up with Yugoslav participation, and continued Yugoslav sovereignty over Kosovo.12

    Libyan involvement with the Milosevic regime and its defense was not merely rhetorical. Throughout the period of NATO bombing in Serbia, and as far as may be determined, up to the present, Libya has maintained firm trade and economic relations with Serbia. Serbian management cadres have participated in running Libyan industry, and Serb officers assisted in training Qadhdhafi’s personal guards.

    Many Palestinians also nurtured a similar sympathy for Milosevic. What may be considered the most surrealistic gesture during the entire decade of recent Balkan wars occurred six months after NATO’s bombing of Serbia: on December 1, 1999, the Palestinian Authority (PA) invited Milosevic to Bethlehem to celebrate the Orthodox Christmas. News of this invitation, although more or less ignored in the West, was reported with banner headlines in the Balkans. An Israeli foreign ministry spokesman said that if Milosevic accepted the invitation he would be arrested on arrival, since Israel, as a U.N. member, is obliged to fulfill arrest orders issued by The Hague tribunal, which had indicted him. The PA, not being a U.N. member, was under no such obligation.13 And the PA was not the only Palestinian element to vacillate over Kosovo. Earlier in 1999, the Palestinian Islamic extremist Hamas movement issued a statement, denouncing U.S. intervention to settle the Kosovo crisis as "hiding under the slogans of human rights to impose its power in the Balkans."14 Hamas thus echoed the allegations of Milosevic’s own media, as well as the Russians and various leftists worldwide.

    Islamists in Arab lands likewise did immense damage by making the false claim that the KLA was fighting for an Islamic state. In fact, the Kosovo Albanian struggle was ethnic, not religious, and the KLA included Catholic commanders as well as Muslims and persons with no strong religious affinities. But foreign Islamists announced that the struggle was some sort of jihad, a claim previously advanced by Milosevic, his government, and his apologists to label the Albanians as religious extremists. The KLA had to work overtime to refute the misinformation regularly disseminated about its objectives.

    And of course the supporters of bin Ladin did all they could to provoke hostility toward the U.S. role in Kosovo, even after U.S. power ended the mass slaying of Muslims. In January 2000, a bin Ladinite website in the United States posted articles falsely claiming that NATO troops had introduced prostitution into Kosovo,15 and attempting to exploit a fatal sexual assault on an 11-year old Albanian girl by a deranged U.S. soldier.16 Other extremist websites purveyed the anti-NATO arguments that use of depleted uranium had polluted the soil in Kosovo, and that the real aim of the NATO intervention was to secure control of the Trepca mining complex (a facility that is a decade behind the rest of the world in extractive technology, while the commodities it once produced are all subject to a world glut).

    In sum, while the rest of the world regarded the sufferings of Bosnian Muslims and Albanians as heart-rending and the basis of a great moral challenge to global policy makers, Arab states and Islamic extremists took a different view. They seemed to regard ethnic cleansing in the Balkans as secondary to their own complaints against the West and Israel, and as some sort of conspiracy of the West to infiltrate the Balkans. But their posture cannot be explained only by their obsession with Israel and their anti-Americanism. It owed much to the views of Wahhabi clerics who dominate religious life in Saudi Arabia and strongly influence it throughout the Arab states. Arab indifference to the fate of Balkan Muslims cannot be understood without an appreciation of Wahhabi ambivalence toward Balkan Islam—a very acute clash within Islamic civilization.

    Infiltrating Bosnia

    It would be difficult to imagine Muslims less attuned to the nuances of the Balkans than Wahhabis of the Saudi school. They abhor the very concept of mixed Islamic and non-Islamic societies such as exist throughout the Balkans. The expulsion of Muslims from mixed territories by the Serbs and Croats caused them little concern. Some Bosnians have told me they believed that the Arabs favored reduction of Muslim Bosnia to its most narrow ethnic territory (a strip from Mostar to Tuzla, including Sarajevo) if this would advance a separatist, supremacist, and Wahhabi agenda. For these Wahhabi foreigners, the idea of a "green," i.e. Muslim island in Europe meant nothing unless it became an Islamist enclave along Wahhabi lines. Needless to say, this condescending view of Balkan Islam as an object of colonization disregarded the vast contribution of Bosnians and Albanians to the development of Islamic civilization in general, and the Ottoman Empire in particular.

    In the case of the Bosnian Muslims, it also contradicted a truly ancient tradition of interfaith coexistence and intra-religious pluralism. The Bosnians supported an independent Christian church before the Ottoman conquest of the country. During Ottoman times, Bosnian Catholics enjoyed religious autonomy, while the Serb Orthodox Church functioned as the main representative of the Christian millet, or religious community. Jews, too, were welcomed in Bosnia after their expulsion from Spain and Portugal. There were never any ghettoes or other residential restrictions on Jews in Bosnia; four synagogues remain fully intact in Sarajevo alone, a city that in 1941 was almost 20 percent Sephardic. Notwithstanding the horrors Muslims suffered in the 1992-95 war and the predictable resurgence of Islamic aspects in Bosnian Muslim ethnic identity, almost no native Bosnians could conceive of their country undergoing a Taliban-style experiment in Islamic revolution.

    Many Bosnian Muslims were grateful for the participation of a thousand or so "Afghan Arabs" in their defense. But the army of the Republic of Bosnia-Hercegovina (the so-called Muslim forces) included hundreds of thousands of fighters, and the mujahideen did not influence the course of a single battle in the Bosnian conflict. Furthermore, the mujahideen were largely Saudi adventurers who loved war; the Bosnians were typical Europeans who had come to hate war after their experience of Fascist occupation and partisan struggle in World War Two. When Bosnians fought, it was for their country, not for God or the opportunity for martyrdom. When the Bosnian war ended in 1995, no Bosnians followed the mujahideen to battle in Chechnya or Central Asia.

    For the mujahideen in Bosnia, "the jihad ended" in 1995 with the U.S. imposition of the Dayton agreement. 17 Most of them departed the Balkans, although a few who had acquired Bosnian citizenship by their war service or by marrying Bosnian women settled in central Bosnia, occasioning much rumor but little real trouble.

    The Saudi and other Gulf states then flooded Sarajevo with money and Wahhabi propaganda, under the ostensible cover of relief operations. Still, Wahhabism attracted few local recruits. The main conflict between Wahhabi acolytes and Bosnian politicians was a "mosque war" over architectural styles to be adopted in the Saudi- and Gulf-financed reconstruction of religious monuments destroyed by the Serbs and Croats. (Forty percent of Bosnian mosques, including the oldest and most important, were leveled during the war. Most of them were in territory that remains under Serbian control.) Bosnians wanted their mosques rebuilt in their original and ornate Ottoman style; the Saudis would only pay for the erection of bare, stark Wahhabi-style mosques.18

    Although ordinary Bosnian Muslims, the Bosnian ulema, and most Bosnian Muslim politicians resented the interference and arrogance of the Wahhabis, there was a visible reluctance in Sarajevo to repudiate them openly. The causes of this were simple: Bosnia is impoverished, and there is no prosperous Bosnian diaspora capable of investing in reconstruction. In addition, Bosnian participation in Sufi orders, the traditional barrier to Wahhabism, had declined drastically under Communism. The Saudis offered Bosnian Muslim authorities needed money, and all they had to do was accept free copies of the Qur’an. Yet even so, the Bosnian Muslim community remained essentially impervious to puritan Wahhabism, a situation that prevails today.

    Foreign Islam in Kosovo

    In Kosovo, Wahhabism encountered far greater difficulties. The main reason is that Shi‘ite-oriented Sufism—a double abomination in Wahhabi eyes—is the dominant form of religious expression among Albanian Muslims in Dukagjini (Metohija), the territory most distinguished by its history of anti-Serb resistance. It has been estimated that there are more Sufis or dervishes in the cities of Dukagjini, such as Gjakova and Prizren, than there are Sunni Muslims. Indeed, among Albanians, patriotism and Sufism are closely identified. The most influential among the Albanian Sufi orders is the Bektashiya, an extremely nonconformist sect with a long history in Anatolia, Central Asia and elsewhere. The heterodox practices of the Bektashiya, which include consumption of alcohol, are so outrageous to the Wahhabis that the Bektashis living in Hijaz were collectively expelled during the Saudi takeover of that part of Arabia.19 Wahhabis and those whom they influence typically describe the Bektashis as outside Islam.

    In addition, mujahideen were not welcome in Kosovo although there is evidence that some Arabs went there to fight. Ramush Haradinaj, a leading figure in the KLA, stated in a book of interviews that "about twenty" non-Albanians fought in the organization’s ranks in Dukagjini. Haradinaj identified their places of origin as "Sweden, Netherlands, France, Germany, Algeria, Italy, and some other countries. There were martyrs from [among] these volunteers," he added.20

    Kosovo, like Bosnia-Hercegovina, was deluged with Saudi-funded Wahhabi propaganda and preachers as soon as the 1999 intervention ended. Kosovo grand mufti Rexhep Boja commented on the postwar influx of Islamic fundamentalists:
    There are people who come here and want to tell us how we ought to do things. We have been Muslims for more than 600 years and we do not need to be told what Islam is. We have our own history and tradition here, our own Islamic culture and architecture. We would like to rebuild our community and to rebuild our mosques, but we want to do it our way.21
    It is difficult to say how much money the Saudis put into Kosovo, largely through the Saudi Joint Relief Committee for Kosovo (SJRCK). But it was characteristic that the greater part of Saudi aid was spent on Wahhabi propagators and mosque-building, as opposed to broader humanitarian needs.22

    Another Islamic aid group, based in the United Arab Emirates, promised residents of the Kosovo town of Vushtrri that they would build them new mosques that would be bigger, better, and "more Islamic"—provided they first demolished the Ottoman-era gravestones of their Muslim Albanian ancestors. (The Wahhabis, who regard tombstones as a form of idol-worship, were unwilling to rebuild mosques that had tombstones in their yards, a common feature of the traditional Balkan mosque.) The Saudis seemed intent on completing the cultural vandalism the Serbs had initiated, this time in the name of Islam.

    Andras Riedlmayer, fine arts librarian at Harvard University, recalled that in the Dukagjini city of Peja,
    I was told about an incident in 1998, when, as the villages in the surrounding Kosovo countryside were in flames, a group of Wahhabi missionaries—both Arabs and their Kosovar acolytes—came to town and tried to impose their own way of praying (the locals said it involved some "odd" body movements) ...

    When the Wahhabis took out sledgehammers and set about smashing the seventeenth century gravestones in the garden of Peja’s ancient Defterdar mosque, angry local residents beat them up and chased them out of town. I was shown the damaged gravestones, beautifully carved with floral motifs and verses from Qur’an. That was in the late summer of 1998. Six months later, in the spring of 1999, Serb paramilitaries came and burned down the mosque. Unlike the fundamentalist missionaries, they were not interested in the gravestones.23
    Observers of the Kosovo situation were therefore not surprised when, at the end of 1999, the Kosovapress news agency, the media arm of the former KLA, issued an extremely strong comment against the infiltration of Wahhabi missionaries into Kosovo:
    For more than a century civilized countries have separated religion from the state … we now see attempts not only in Kosovo but everywhere Albanians live to introduce religion into public schools … Supplemental courses for children have been set up by foreign Islamic organizations who hide behind assistance programs. Some radio programs, such as Radio Iliria in Vitia, now offer nightly broadcasts in Arabic, which nobody understands and which lead many to ask, are we in an Arab country?

    It is time for Albanian mosques to be separated from Arab connections and for Islam to be developed on the basis of Albanian culture and customs.24
    In 2000, the "mosque war" that had upset Bosnian Muslims expanded to Kosovo, where the Serbs had destroyed almost half the mosques, including several Ottoman architectural treasures. At the end of July 2000, Saudis who had taken over the refurbishment of the Hadum mosque complex in Gjakova, dating from 1595 and devastated by the Serbs during the 1999 war, suddenly turned up in the old Ottoman cemetery inside the walls and began removing its centuries-old gravestones. They also demolished the remains of the library, which could have been restored. The Albanians reacted with predictable rage. Gazmend Naka, an expert with the Institution for Protection of Kosova Monuments, denounced the Saudis:
    The Saudis say NATO and the U.N. will let them do whatever they want, and that we Albanians have nothing to say about it. The Serbs killed us physically, but these fanatics want to kill our cultural heritage.25
    Naka urged NATO’s Kosovo Forces command, which mounted guards at Serbian churches threatened by Albanians, to place similar protective units at Islamic structures. But NATO was trying to get out of the monument protection business: sitting in armored cars and tanks watching Serbian Orthodox churches was not an efficient use of military resources, and there was no interest in extending the program to mosques. Fortunately, on August 5, 2000, the U.N.-backed authorities barred the Saudis from the Hadum mosque rehabilitation project.26

    In the media coverage, Kosovar Albanian resentment of Arab meddling was even more sharply expressed when an United Arab Emirates diplomat promised that fifty beautiful, new mosques would be built around Kosovo, to be paid out of the diplomat’s own pocket. Naim Maloku, a former KLA commander, brusquely rejected the proposal, stating that Kosovo needed employment opportunities more than mosques.27

    Kosovar resistance to Wahhabi mosque demolitions and cemetery vandalism was not an insignificant matter. In a sense, Wahhabi missionaries in Kosovo had sought to do what the "Arab Afghans" and the Taliban did in Afghanistan, when they demolished the great Buddhas at Bamiyan. Such physical eradication of a rich and eclectic cultural heritage is itself an act of barbarism, whether done by Serb militias or Wahhabi zealots. In Afghanistan, no one was able to stay the hands of the iconoclasts. In Kosovo, the story has been different, as the Kosovars have made it clear they will not suffer the imposition of a foreign and extreme form of Islam, now tainted by its association with terrorism. This is a victory for moderation, and a great asset for the United States in its future approaches to the Muslim world.

    War against Islam?




    During the Afghan war, various Arab and other Muslims declared that the United States was really waging war against Islam, and that it even had a master plan to undermine Islam. Some Americans agonized that they had not done enough to placate Muslim opinion, and that U.S. policy was to blame for September 11.

    The argument was nonsensical. The United States had used its power repeatedly in the 1990s on behalf of besieged Muslims, who are grateful for its intervention to this day. Those who charged the United States with being intrinsically hostile to Islam displayed a willful ignorance of recent history—so willful that it is doubtful the United States could ever do anything to persuade them otherwise. The United States has every reason to be proud of its record of solicitude for Muslims who have been persecuted for their ethnic and religious identity. It has no reason to apologize for its refusal to kowtow to Arab radicals like Saddam Husayn, or to indulge a Palestinian leadership that abandoned diplomacy in order to foment Balkan-style chaos in the Middle East.

    Yet the United States has not acknowledged the goodwill it did create in the Balkans. As it looks forward to the next stages in the "war on terror," it would do well to make the most of the solidarity shown by Balkan Muslims generally, and Albanians in particular. The answer to Usama bin Ladin is not the kind of Islam practiced in the Arab world, with its strong streak of intolerance for difference. It is certainly not a version of Wahhabism as exported by Saudi Arabia—a doctrine that is infected with the germ of terrorist extremism. It is the sort of tolerant Islam that is practiced in the Balkans, and whose practitioners today feel themselves closer to the United States than to their benighted Arab "brethren." This is an asset the United States would do well to nurture and employ. In the post–September 11 world, you never know when you might need a few good Muslims.
    Stephen Schwartz, a long-term resident of the Balkans, is the author of Kosovo: Background to a War (Anthem, 2001), and the forthcoming Two Faces of Islam.
    1 The Washington Post, Oct. 15, 2001.
    2 Interview with Usama bin Ladin, "The New Powder Keg in the Middle East," Nida’ul Islam, Oct.-Nov. 1996, at http://www.islam.org.au/articles/15/LADIN.HTM.
    3 BBC News, Nov. 3, 2001.
    4 Oct. 15, 2001, at http://www.as-sahwah.com/Articles/An%20Open%20Letter%20to%20President%20Bush.phtml.
    5 "U.S. Understanding of Islam Does Not Confirm Clash of Civilizations Claim," Radikal (Istanbul), Oct. 13, 2001.
    6 Reuters, Oct. 31, 2001.
    7 TVSH Television (Tirana), Sept. 12, 2001.
    8 KosovaLive News Agency (Prishtina), Oct. 12, 2001.
    9 Koha Jone (Tirana), Oct. 8, 2001.
    10 Foreign Broadcast Intelligence Service (FBIS) Albanian Language Media Report, Oct. 8, 2001.
    11 Arabic News, Aug. 24, 1998, at http://www.arabicnews.com/ansub/Daily/Day/980824/1998082403.html.
    12 Ibid., May 3, 1999, at http://www.arabicnews.com/ansub/Daily/Day/990503/1999050314.html.
    13 The Washington Post, Dec. 2, 1999. Contrast with Israel’s conduct: in the early phase of the Kosovo intervention, Israel sent a mobile hospital to the main Kosovar Albanian refugee camp in Macedonia, the Israeli labor federation Histadrut donated ten metric tons of food aid to the Kosovars, and Israel took in 112 Kosovar Albanian refugees, none of whom were Jewish. Israeli aid to the Kosovars was completely disinterested; there had been no significant Jewish presence in Kosovo since the Holocaust.
    14 Arabic News, Apr. 3, 1999, at http://www.arabicnews.com/ansub/Daily/Day/990403/1999040314.html.
    15 Agence France-Presse, Jan. 5, 2000.
    16 Reuters, Jan. 15, 2000.
    17 Their story is told in two cassettes, In the Hearts of Green Birds and Under the Shades of Swords, available for purchase at http://66.96.205.195/~azzam/html/productsgreenbirds.htm; http://66.96.205.195/~azzam/html/productsswords.htm#top.
    18 Stephen Schwartz, "Islamic Fundamentalism in the Balkans," Partisan Review, Summer 2000, at http://www.bu.edu/partisanreview/archive/2000/3/schwartz.html.
    19 M. Darwish, "The Hidden Face of Extremism—the ‘New Wahhabi’ Movement," EastWest Record, Oct. 8, 2001, at http://www.eastwestrecord.com/articles/theNewWahhabMovement.asp.
    20 Bardh Hamzaj, A Narrative about War and Freedom: Dialog with Commander Ramush Haradinaj (Prishtina: Zeri, 2000), p. 141.
    21 Personal communications with Andras Riedlmayer, 1999-2000.
    22 See the results for a search for "Kosovo" in the Saudi Arabian Information Resource, at http://www.saudinf.com/scripts/search3.pl?target=Kosovo&_submit=Search&baseurl=http%3A%2F%2Fwww.saudinf.com%2F.
    23 Personal communications with Andras Riedlmayer, 1999-2000.
    24 Kosovapress News Agency, Dec. 29, 1999.
    25 Interview with author, Prishtina, Kosovo, summer 2000; Stephen Schwartz, "A Certain Exhaustion," The New Criterion, Oct. 2000, at http://www.newcriterion.com/archive/19/oct00/schwartz.htm.
    26 Jolyon Naegele, "Yugoslavia: Saudi Wahhabi Aid Workers Bulldoze Balkan Monuments," Radio Free Europe/Radio Liberty, at http://www.rferl.org/nca/features/2000/08/F.RU.000804130919.html.
    27 Religion in Kosovo (Brussels: International Crisis Group, 2001), at http://www.crisisweb.org/projects/showreport.cfm?reportid=226.

    Disgust Photoes from Abu Ghuraib


























    Bosnia War, the real crimes...


    Bosnia war crimes arrest ends tragically
    Anes Alic in Sarajevo | January 6

    ISN - Bosnian Serb war crimes suspect Dragomir Abazovic has been arrested by European police forces (EUFOR) after a tragic shootout in which the suspect's wife was killed and his son wounded.

    EUFOR has said it returned fire in self-defense and suffered no causalities in the late Thursday shootout in the eastern Bosnian town of Rogatica.

    An Italian contingent of EUFOR on Thursday attempted to arrest Abazovic, a former major in the Bosnian Serb army, indicted for war crimes against Bosniaks (Bosnian Muslims) during the 1992-1995 war.




    Info Source byAgonist.Org

    3.10.07

    Registry Recovery


    RegistryRecovery is data recovery software for corrupted Microsoft Windows registry files.

    The program is provided as a console application. This makes it easy to use RegistryRecovery with a rescue diskette on an operating system that cannot start due to registry errors.

    See RegistryRecovery product information for detailed specifications.

    Need advice on what to do next? Data Recovery Checklist is available as a guide for everyone in need to recover corrupted data. In case of very limited time please follow the Express Checklist.

    RegistryRecovery Screenshot












    General Data Recovery Checklist

    - Download a free demo version of RegistryRecovery.
    - Install the demo.
    - Run the demo on the data you need to repair.
    - Consider the results of demo recovery.
    - If satisfied with demo results, order full version.

    Express Data Recovery Checklist
    -
    Order the full version of RegistryRecovery now. Make sure you select the "online ordering" option.
    - Downloading instructions will be delivered to your email address in a few minutes.
    - Download and install the software. Recover your files.

    To More visit here: OfficeRecovery.com


    2.10.07

    Landasan Fundamental Nazism




    Nazisme
    lahir di tengah konflik politik yang dialami Jerman setelah Perang Dunia Pertama. Pemimpin Partai Nazi adalah Adolf Hitler, sosok yang sangat ambisius dan agresif. Hitler memiliki pandangan sangat rasis. Ia sangat meyakini keunggulan bangsa Jerman atau "Arya" di atas ras-ras lain. Ia memimpikan ras "Arya" Jerman akan segera mendirikan imperium yang bertahan selama seribu tahun.

    Teori evolusi Darwin muncul untuk memberikan landasan ilmiah bagi teori rasis Hitler. Hitler juga mendapatkan dukungan ideologis dari karya Heinrich von Treitschke, sejarahwan rasis Jerman. Treitschke sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin dan mendasarkan pandangan rasisnya pada Darwinisme. Ia berkata: "Bangsa-bangsa hanya dapat berevolusi melalui perjuangan sengit, seperti pandangan Darwin tentang 'Perjuangan Untuk Mempertahankan Hidup'". Hitler juga memperoleh inspirasi dari teori Darwin tentang "Perjuangan untuk Bertahan Hidup". Judul buku terkenalnya "Mein Kampf", yang berarti "Perjuangan Saya", hanyalah pencerminan konsep Darwin ini.

    Hitler, sebagaimana Darwin, menganggap ras-ras selain Eropa sedikit lebih dari kera dan menambahkan: "Hapuskan bangsa Jerman Nordik dan tak ada yang tersisa kecuali tarian kera". Dasar berpijak pandangan evolusionis kaum Nazi ada pada konsep "Eugenics". Eugenics berarti "perbaikan" ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat, serta memperbanyak jumlah individu sehat. Menurut teori Eugenics, ras manusia dapat diperbaiki dengan cara yang
    sama sebagaimana hewan berkualitas baik dapat dihasilkan melalui perkawinan hewan-hewan yang sehat.

    Sebagaimana dapat diduga, pendukung eugenics adalah para Darwinis. Pemimpin gerakan eugenics di Inggris adalah sepupu Charles Darwin, yakni Francis Galton, dan anaknya, Leonard Darwin.

    Jelas bahwa teori eugenics adalah akibat alamiah dari Darwinisme. Fakta ini juga tampak sangat jelas di berbagai publikasi yang menyebarluaskan sains aneh i
    ni, diantara kutipan berbunyi: "Eugenics adalah pengaturan mandiri evolusi manusia".

    Yang pertama mendukung dan menganjurkan eugenics di Jerman adalah Ernst Haeckel, ilmuwan biologi evolusionis terkenal. Ia mencetuskan teori "rekapitulasi", yang menyatakan bahwa embryo spesies berbeda, menyerupai satu sama lain. Di kemudian hari diketahui bahwa Haeckel telah memalsukan gambar-gambar yang ia gunakan untuk menyebarkan teorinya. Haeckel memalsukan gambar-gambar untuk menunjukkan bahwa embrio ikan, manusia atau ayam mirip satu sama la
    in. Beberapa bagian dari embryo ia hilangkan dan beberapa lainnya ia rubah. Bahkan Haeckel sendiri kemudian mengaku bahwa gambar-gambar yang dibuatnya adalah palsu. Tapi, kalangan evolusionis mengabaikan pemalsuan ini demi mempertahankan teori tersebut.

    Selain membuat pemalsuan ilmiah, Haeckel juga menyebarkan propaganda Eugenics. Ia manganjurkan agar bayi-bayi cacat baru lahir segera dibunuh untuk mempercepat proses evolusi pada masyarakat manusia. Ia melangkah lebih jauh dan mengusulkan agar orang-orang cacat, lemah mental dan berpenyakit genetis hendaknya langsung dibunuh saja. Jika tidak, kata Haeckel, mereka ini akan membebani masyarakat dan memperlambat evolusi.

    Haeckel meninggal tahun 1919, namun kaum Nazi mewarisi gagasan biadabnya. Tak lama setelah Hitler meraih kekuasaan, ia menerapkan kebijakan Eugenics. Mereka yang lemah mental, cacat, dan berpenyakit keturunan dikumpulkan dalam "pusat-pusat sterilisas
    i" khusus. Orang-orang ini dianggap parasit yang megancam kemurnian ras Jerman dan menghambat kemajuan evolusi. Dalam waktu singkat, orang-orang ini kemudian dibunuh atas perintah rahasia Hitler.

    Dalam upayanya mempercepat evolusi ras Jerman, Hitler telah membunuh banyak orang. Selain itu, ia melaksanakan hal lain yang "diperlukan" dalam Eugenic
    s. Muda mudi berambut pirang dan bermata biru, yang dianggap mewakili ras murni Jerman, dianjurkan untuk saling berhubungan seks. Pada tahun 1935, ladang-ladang khusus reproduksi manusia didirikan. Perwira SS Nazi sering mengunjungi ladang ini, yang didalamnya tinggal wanita muda yang memiliki kriteria ras "Arya". Bayi-bayi haram yang lahir di ladang-ladang ini akan menjadi prajurit masa depan Imperium Jerman.

    Dalam rangka memperbaiki keunggulan ras Arya, kaum Nazi menggunakan konsep Darwin. Darwin menyatakan bahwa ukuran tengkorak manusia membe
    sar tatkala ia menaiki tangga evolusi. Kaum Nazi sangat mempercayai gagasan ini dan mengadakan pengukuran tengkorak untuk menunjukkan bahwa Jerman adalah ras unggul. Di seluruh Jerman Nazi, pengukuran dilakukan demi membuktikan bahwa tengkorak Jerman lebih besar dibanding ras-ras lain. Ciri fisik seperti gigi, mata dan rambut diperiksa berdasarkan kriteria evolusionis. Mereka yang kedapatan berukuran di luar kriteria resmi ras Jerman dibinasakan menurut kebijakan Eugenics Nazi.

    Semua kebijakan aneh ini diterapkan atas nama Darwini
    sme. Michael Grodin, sejarahwan Amerika dan penulis buku, The Nazi Doctors and the Nurenberg Code menyatakan fakta ini. Saya pikir apa yang telah terjadi adalah adanya kesesuaian sempurna antara ideologi Nazi dan Darwinisme Sosial dan pemurnian ras ketika terjadi perkembangan di peralihan abad ke-20. Dan para dokter beranggapan bahwa terdapat penyimpangan sosial dan penyimpangan perilaku yang berhubungan secara genetis. Dan terdapat gen baik dan gen buruk. Dan Darwinisme social ini berkembang di seluruh dunia. Para dokter Nazi berkiblat ke Amerika Serikat tempat dimana mereka belajar seluk beluk pemurnian ras ini.

    George Stein, peneliti asal Amerika, menjelaskan hal i
    ni dalam majalah American Scientist, "Sosialisme nasional, atau apapun namanya, pada intinya adalah usaha pertama kali yang secara sadar dilakukan untuk membangun komunitas politis di atas sebuah landasan satu kebijakan yang jelas", kebijakan yang sejalan penuh dengan fakta ilmiah revolusi Darwin.

    Sir Arthur Keith, seorang evolusionis terkenal berkata tentang Hitler: "Pemimpin Jerman, Hitler, adalah seorang evolusionis; ia dengan sengaja menjadikan Jerman sejalan dengan teori evolusi". Alasan penting lain mengapa Hitler meyakini evolusi adalah bahwa ia menganggap teori ini sebagai senjata melawan agama. Hitler sangat anti terhadap keyakinan monoteistik. Ajaran agama seperti cinta, kasih sayang dan kelembutan sangatlah bertentangan dengan model ras Arya yang bengis dan kejam. Itulah mengapa, sejak Nazi merebut kekuasaan tahun 1933, mereka bertujuan mengembalikan agama paganisme kuno pada masyarakat Jerman. Swastika, simbul yang berasal dari kebudayaan paga
    n kuno, menjadi simbul bagi perubahan ini.

    Perayaan-perayaan Nazi di setiap penjuru Jerman ternyata merupakan penghidupan kembali ritual-ritual pagan kuno.

    Seperti disebutkan sebelumnya, teori evolusi sendiri adalah warisan dari kebudayaan pagan. Di sini kita saksikan kaitan tak terpisahkan antara Paganisme, D
    arwinisme dan Nazisme. Semua pembunuhan yang dilakukan Nazi berawal dari kepercayaan pagan ini. Kaum Nazi menghidupkan kembali kebudayaan biadab pagan dan mendapat dukungan kuat dari teori atheis Darwin untuk membenarkannya.

    Sebaliknya, kekejaman, pembunuhan dan kerusakan di bumi sangat dilarang dan dikutuk oleh agama. Dalam Alqur'an, Allah menyeru manusia kepada keadilan, kasih sayang dan kelembutan. Kekejaman dan kesombongan adalah perbuatan terkutuk. Sebagaimana Allah firmankan ayat-Nya; "...dan Allah tidak menyukai kebinasaan". (QS. Al-Baqarah [2]:205).

    Benito Musolini, diktator Italia dan termasuk sekutu terpenting Hitler, juga terinspirasi oleh teori evolusi. Di masa mudanya, ia menulis artikel yang menyanjung Darwin sebagai ilmuwan terbesar yang pernah ada. Setelah meraih kekuasaan, Italia fasis menduduki Ethio
    pia. Ia membenarkan pendudukannya atas Ethiopia dengan pandangan rasis Darwin dan gagasan tentang perjuangan untuk bertahan hidup. Menurut Mussolini, Ethiopia adalah bangsa kelas rendah sebab mereka termasuk ras hitam; karenanya, diperintah oleh ras unggul seperti Italia sudah merupakan akibat alamiah dari evolusi. Mussolini juga terpengaruh oleh pemikiran bahwa bangsa-bangsa berevolusi melalui peperangan. Menurut Mussolini, "keengganan Inggris untuk turut dalam kancah peperangan hanya membuktikan kemunduran evolusi Imperium Inggris".

    Akhirnya, imperium Nazi kalah dalam Perang Dunia Kedua
    dan tercatat dalam sejarah sebagai pembunuh jutaan rakyat tak berdosa. Di sisi lain, Mussolini dihukum mati oleh rakyatnya sendiri. Tetapi sungguh memprihatinkan bahwa pemikiran Darwinis, yang menyediakan landasan berpijak bagi ideologi Nazi, masih tetap bercokol.